Selasa, 07 Februari 2017

BELAJAR DARI PAK SAMSUDIN, “NELAYAN TUA” KOTA BITUNG

Nenek moyangku orang pelaut
Gemar mengarung luas samudra
Menerjang ombak tiada takut
menempuh badai sudah biasa
angin bertiup layar terkembang,,, 
 ............ dst.
Ayo siapa yang masih ingat lagu diatas???, pasti hampir seluruh anak Indonesia kenal dengan lagu tersebut. Ternyata lagu nenek moyangku seorang pelaut itu menegaskan bahwa kita benar-benar negara maritim. Ingat kejayaan Indonesia pada masa Sriwijaya, Majapahit, Malaka, Mataram, Samudra Pasai, Aceh, Gowa Tallo, Kutai, dan lain-lain, itu di raih melalui pelayaran, armada laut yg kuat, pemantauan laut, serta penerapan hukum-hukum laut yang kuat dan penarikan bea cukai terhadap kapal asing yang masuk ke nusantara. Begitu makmurnya kita pada saat itu dikala kita menguasai maritim/pelayaran.
Akan tetapi masa kejayaan pelaut Indonesia-pun tinggal kenangan manis, Potret kehidupan para pelaut Indonesia sekarangpun bisa kita lihat dimana tingkat kesejahteraannya kurang. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Niko Amarullah, Wasekjen DPP  Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) “mengingatkan pemerintah bahwa kesejahteraan nelayan dan pembudidaya ikan berada di “lampu kuning”. KNTI mendesak perlunya strategi jangka pendek untuk menjaga keberlanjutan penghidupan nelayan dan produksi pangan perikanan nasional sembari menunggu realisasi programatik jangka menengah dan panjang. “Merujuk indikator Nilai Tukar Nelayan (NTN), Nilai Tukar Pembudidaya Ikan (NTPI), maupun kredit macet (NPL) di sektor UMKM Perikanan di 2015, dapat disimpulkan bahwa kondisi kesejahteraan nelayan dan pembudidaya ikan belum membaik. Semester pertama 2016 adalah masa kritis yang harus kita lewati bersama” lanju beliau.
Seharusnya bangsa ini menjadi bangsa yang kuat dalam sektor perekonomian dikarenakan oleh jumlah sumberdaya alam yang sangat melimpah. Namun kenyataan berkata lain, masih banyak nelayan yang hidup dalam garis kemiskinan. Dalam hasil sebuah survey mengenai jumlah penghasilan terhadap jenis pekerjaan, nelayan menempati urutan kedua sebagai profesi dengan penghasilan terendah diantara profesi yang lain. Mengapa demikian…? Beberapa hal yang menyebabkan garis kemiskinan nelayan itu tidak mudah untuk diselesaikan karena sifat sumberdaya perikanan yang dimiliki bersama (common property) dan aksesnya terbuka (open source), selain kedua faktor diatas beberapa hal yang ikut mempengaruhi kemiskinan ini yaitu : Sistem peminjaman uang oleh rentenir dengan bunga yang sangat besar dan pada umumnya mereka lebih memilih untuk meminjam uang kepada rentenir karena beranggapan lebih mudah untuk mendapatkan pinjaman dari rentenir ketimbang ke bank atau koperasi yang bunganya lebih kecil karena nelayan pada umumnya tidak ingin direpotkan dengan permasalahan administrasi di bank dan koperasi. Dalam proses pembayaran dikenal dengan dua cara yaitu pertama mengembalikan uang beserta bunganya, kedua membayarnya dengan jumlah hasil tangkapan yang diperolehnya. Masalahnya nelayan tidak setiap hari melaut dan tidak menentunya hasil tangkapan yang diperoleh untuk membayar pinjaman. Bilamana jumlah hasil tangkapan yang diperoleh digunakan seluruhnya untuk membayar pinjaman kemudian meminjam lagi untuk pemenuhan kebutuhan lainnya agar dapur mereka tetap mengepul/berasap. Sehingga bisa dikatakan siklus utang piutang ini tidak akan pernah berakhir.
Rantai pemasaran hasil tangkapan yang panjang antara nelayan dengan pengguna hasil perikanan. Dalam sebuah wawancara dengan nelayan pulau buton utara misalnya, bahwa mereka menjual hasil tangkapan mereka ke pengepul 1 kemudian pengepul 1 membawa hasil tangkapan ke kota ke pengepul 2 lalu pengepul 2 membawa hasil tangkapan ke restoran-restoran dan pasar. Jika nelayan menginginkan keuntungan yang besar sebaiknya mereka langsung memasarkan ke pihak konsumen agar bisa memutus rendahnya nilai jual hasil tangkapan mereka. Panjangnya rantai pemasaran ini dikarenakan oleh akses transportasi darat yang buruk dan nelayan tidak mempunyai sistem cold storage untuk pengawetan hasil tangkapan.
Gaya konsumtif masyarakat pesisir yang sangat mempengaruhi kondisi keuangan keluarga sebagai contohnya mereka biasanya sangat senang mengoleksi perabot rumah tangga sebagai pajangan yang melambangkan identitas untuk menaikkan gengsi dan kebanggaan, banyaknya perayaan hari-hari besar atau kegiatan yang bersifat ceremonial yang membutuhkan biaya yang besar.
Ketiga faktor diatas merupakan realita yang terjadi pada masyarakat yang hidup di pulau-pulau dan daerah pesisir indonesia. Semoga dengan banyak mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan nelayan dapat membantu untuk menghadirkan solusi yang baik demi kesejahteraan nelayan di negara yang kaya dengan sumberdaya alam ini
Karakter utama Kota Bitung adalah bahari. Aktivitas utama kota ini dapat diamati di kawasan Pelabuhan Perikanan Samudera Bitung. Pelabuhan ini merupakan tempat berkumpulnya para nelayan untuk melakukan aktivitas pelelangan ikan. Aktivitas asli masyarakat nelayan dapat disaksikan dengan jelas di tempat pelalangan ikan Bitung. Berbagai jenis ikan dengan berbagai jenis ukuran dapat dijumpai di tempat pelelangan ini. Utamanya, adalah cakalang yang menjadi ikon Kota Bitung. Setiap hari, aktivitas jual beli nelayan dimulai sejak sebelum fajar hingga pukul tujuh pagi. Berbagai jenis kapal datang silih berganti di pelabuhan ikan ini. Dari laut, satu perahu terdiri dari rombongan beberapa nelayan yang duduk di tepi perahu. Sesampainya di pelabuhan, para nelayan ini akan memposisikan perahu, dan menurunkan hasil tangkapannya. Teriakan transaksi ikan para pelelang di pelabuhan terdengar nyaring dan menggambarkan suasana khas masyarakat nelayan di pesisir nusantara. 
Rutinitas ini juga dialami oleh bapak Samsudin Lanti, nelayan asal Wangurer Barat, Kota Bitung yang berusia hampir 70 tahun ini masih konsisten pergi melaut bersama  25 orang teman-temannya.  Beliau adalah salah satu Anak Buah Kapal Motor jenis Purse Seine. Dalam sebuah wawancara tadi pagi, beliau mengatakan bahwa sejak dahulu mulai awal tahun 1980-an  mulai terjun sebagai nelayan. Ayah dari 7 orang anak dan 15 cucu ini merasa  senang dan baik-baik saja menjadi seorang ABK walaupun dengan kondisi umur yang sudah tidak muda lagi. Saya tertarik dan memawancarai beliau yang waktu itu lagi menunggu penyaluran logistik ke dalam kapal. Saya sempat menanyakan pada nahkoda kapal tersebut perihal bapak, dan menurut keterangan dari nahkoda bahwa beliau sudah lama kerja disitu (senior dan dituakan oleh teman-teman lainnya) dan termasuk orang yang rajin dan semangat bekerja. Pada saat saya bertanya perihal kesehatannya, pak Samsudin mengatakan “ Selama masih kuat,  sehat masih mampu melaut, selama masih dikasih umur oleh Tuhan Yang Maha Esa, saya tetap akan melaut, Syukur jadi nelayan ini masih dikasih umur sampai segini dan jarang-jarang sakit” kata beliau.  Saya pun mencoba mengorek informasi perihal  semangatnya ini, kira-kira apa hal yang mendorong bapak ini suka melaut walaupun usia udah “senja”, apa tidak mau bekerja didarat saja, menjadi penjual ikan/ tibo-tibo atau menjadi petani saja. Jawaban beliau yang membuat saya kaget, beliau mengatakan “ Kalau dilaut itu nak, kerja rame-rame, kerjasama satu tim, kompak sehinga walaupun pekerjaan seberat apapun kita lakukan bersam-sama  jadi ringan, namun klo kerja di darat itu sendiri-sendiri, sikut sana sikut sini, cari untung sendiri lupa sama teman sendiri, ingatnya pas lagi susah saja” demikian jawaban beliau.
Dari wawancara itu saya berhasil mengumpulkan informasi bahwa pendapatan beliau sebagai ABK itu kurang lebih Rp.900.000,00/ trip atau Rp. 2.700.000,00/ bulan (pada kondisi normal kapal lancar melaut), adapun jika kapal dalam posisi dok  untuk perbaikan maka tidak ada pendapatan yang masuk sehingga beliau untuk kebutuhan hidupnya pinjam ke tetangga. Pelajaran penting yang bisa saya petik dari kehidupan beliau adalah tentang cara kita mensyukuri nikmat yang diberikan oleh Pencipta, Tuhan Yang Maha Esa. Kata pak Samsudin ke saya “  Yang penting ada buat dimakan dirumah, saya sudah senang, Toh anak-anak sudah besar semua dan sudah kerja walau sebagai buruh kasar atau staf kecamatan” lanjut beliau. Sempat menanyakan perihal kelompok perikanan kepada beliau, dan ternyata beliau sudah lama mengetahuinya karna lewat kelompok itu bisa mendapatkan kartu nelayan, bahkan sering mendengar bantuan kapal dari pemerintah tapi belum pernah satupun mendapatkan bantuannya. Saya Tanya kalau bapak ingat nama kelompoknya, namun sayang bapaknya lupa.
Percakapan kamipun berakhir setelah bapak pamit pulang kerumahnya setelah kegiatan penyaluran logistik kekapal selesai dilakukan. Trimakasih sudah mengajarkan arti dari kesyukuran kepada saya,  Sukses buat bapak, semoga bapak samsudin sehat terus dan  bapak dan keluarga bisa sejahtera.


Sumber :
Dwiputra, Ashari. 2014 Potret Kehidupan Nelayan Indonesia (Online)
(Diakses 7 Februari 2017di Bitung)
Jurnal Maritim. 2016 Kesejahteraan dalam ‘Lampu Kuning’, Perlu Akselerasi KUR bagi Nelayan dan Pembudidaya Ikan (Online)
(Diakses 7 Februari 2017di Bitung)

Anwar, Abdul Karim, 2016. Kegiatan penyuluhan perikanan 2017 di PPS Bitung
Bitung. Sulawesi Utara


Tidak ada komentar:

Posting Komentar